Rabu, 25 Juli 2012

Sejarah Islam di Tatar Sunda


Dalam hal agama atau suatu keyakinan yang dianut oleh masyarakat sunda, bahwa orang yang pertama kali memeluk dan menyebarkan Islam di Tatar Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar. Karena posisinya itu, ia terbiasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad.
Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (pertama). Ia kemudian menetap di Cirebon Girang yang saat itu berada di bawah kekuasaan Galuh. Bila cerita ini menjadi patokan, dapat disimpulkan bahwa Islam pertama kali dibawa ke Tatar Sunda oleh pedagang dan pada tahap awal belum banyak pendukungnya karena masih terlampau kuatnya pengaruh Hindu.

Jika dikhususkan di tanah sunda, maka orang yang sangat berperan penting dalam hal penyebaran agama islam tidak akan terlepas dari peran beberapa orang pemuka agama diantaranya adalah :
Pertama, Haji Purwa, beliau adalah orang yang pertama kali masuk islam serta menikah dengan wanita muslimah dari Gujarat yang bernama Farhana Binti Muhammad yang dikemudian hari memiliki seorang anak dan menikah dengan wanita yang berasal dari daerah India juga. Jalan dakwah yang telah dilakukan oleh Haji Purwa dengan jalur dialog dan yang pertama kali dia ajak untuk masuk agamanya tersebut adalah adik serta kakaknya sendiri, meskipun dakwahnya ini ditolak tapi diantara mereka tidak ada perselisihan sama sekali. Yang pada tahap selanjutnya beliau mulai menyebarkan ajaran agamanya kepada rakyatnya.
Kedua, Syekh Quro, dia dikenal sebagai orang yang pertama kali mendirikan sebuah pesantren di daerah Cirebon, dan yang sering diajarkannya adalah Qira’at (Quro), sehingga ia dikenal oleh masyarakatnya dengan syekh Quro. Salah seorang murid dari syekh Quro ini adalah Subang Larang yang dikemudian hari menikah dengan Prabu Siliwangi.
Ketiga, Syekh Nurul Jati, beliau mengajarkan ilmunya kepada walasungsang yang notabene adalah seseorang yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam suatu pemerintahan. Bahkan sebelum belajar kepada syekh Nurul Jati ini, walasungsang sempat mendapatkan benda-benda pusaka yang ia peroleh dari beberapa gurunya yang lain yang setelah ditafsirkan oleh syekh Nurul Jati ternyata memiliki makna keagamaan yang sangat banyak.

Dalam hal keyakinan beragama seseorang, biasanya seorang raja selalu memaksakan rakyatnya agar memeluk agama tertentu yang sesuai dengan keyakinannya tersebut. Namun bagi pemimpin kerajaan Sunda yaitu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja tidak memaksakan bagi rakyatnya untuk memeluk agama tertentu, dalam hal ini termasuk agama Islam. Semua itu terjadi karena Prabu Siliwangi telah menikah dengan seorang wanita muslim, sehingga dia membebaskan rakyatnya untuk memeluk agama tertentu meskipun dia sendiri masih menganut agama Hindu.
Proses islamisasi Prabu Siliwangi tidak akan terlepas dari silsilah pernikahannya dengan Nyi Subang Larang, murid dari syekkh Quro. Pada pernikahan inilah Prabu Siliwangi mulai mengislamkan dirinya, dan akhirnya dikaruniai tiga orang anak yaitu Walasungsang, Laras Santang, dan Raja Sangara. Yang dikemudian hari salah satu anaknya tersebut akan melahirkan seorang pemuka agama yang akan menyebarkan islam di tanah jawa dan suatu hari nanti akan ada yang selalu mengenangnya, dia adalah Sunan Gunung Djati atau juga dikenal dengan nama Syarif Hidayatullah.

Selain itu pula, terdapat beberapa faktor yang membuatnya masuk pada agama islam yang dikemudian hari dapat memudahkan bagi penyebaran agama islam di tatar sunda, diantaranya adalah :
Pertama, Terdapatnya pesantren Syekh Quro di daerah Cirebon, yang didalamnya terdapat seorang murid yang suatu hari nanti menikah dengan Prabu Siliwangi, dia adalah Nyi Subang larang. Selain pernikahannya dengan Nyi Subang larang, beliau pun menikahi dua orang wanita lagi dia adalah Nyi Ambet Kasih, dan Nyi Aciputih.
Kedua, Terdapatnya proses pelayaran yang dilakukan oleh panglima Cheng Ho ke berbagai daerah, salah satunya di daerah Cirebon. Yang kemudian hari bersahabat dengan Ki Gedeng Tapa. Di kota Cirebon inilah Panglima Cheng Ho mendirikan mercu suar yang biasa digunakan oleh para pelayar untuk menentukan arah dan juga mendirikan klenteng  Sam Po Kong.
Ketiga, Nyi Subang Larang yang mulai mengirimkan anaknya walasungsang untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nurul Jati) yang selanjutnya atas perintahnyalah walasungsang pergi untuk menunaikan haji.


Kisah Lainnya :

  1. Ada pula naskah tradisional lain yang menyebutkan cerita tentang Syekh Nurjati dari Persia. Ia adalah ulama yang datang pada sekitar abad ke-14 bersama 12 orang muridnya untuk menyebarkan Islam di daerah jawa Barat. Atas izin penguasa pelabuhan tempat ia mendarat, ia diperbolehkan menetap di Muarajati (dekat Cirebon) dan mendirikan pesantren di sana. Kisah ini terdapat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
  2. Ada lagi kisah tentang ulama yang datang dari Campa (sekitar Vietnam) bernama Syekh Quro. Ia singgah di Karawang bersama-sama dengan kapal Laksamana Cheng Ho.Sementara Cheng Ho melanjutkan misinya, Syekh Quro memilih tinggal di Karawang dan menikah dengan Ratna Sondari putra penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk mendirikan pesantren hingga ia dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih leluasa.
Sumber-sumber tradisional ini, sekalipun dalam perspektif sejarawan Barat dianggap sebagai sumber yang tidak otoritatif, namun untuk tidak dipercayai secara keseluruhan pun bukan perkara yang tepat. Oleh sebab itu, sebagai informasi permulaan apa yang ditulis dalam sumber-sumber tradisional di atas patut dipertimbangkan.

Bila sumber-sumber ini kita pegang, dapat disimpulkan bahwa Islam telah datang ke Tatar Sunda sejak abad ke-12 atau ke-13. Akan tetapi, sebagaimana umumnya pengembangan agama secara damai, tersebarnya Islam untuk sampai menjadi anutan mayoritas membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, bila pada abad ke-16, Kerajaan Sunda runtuh, bukan berarti bahwa Islam yang menghancurkannya.

Kehancuran Kerajaan Sunda adalah karena kekuatannya secara politik semakin merosot sehingga mudah untuk dihancurkan. Hanya saja, saat itu yang berhadap-hadapan dengan Kerajaan Sunda adalah Kerajaan Banten sehingga banyak yang secara simplisistik menyebutkan bahwa hancurnya simbol “kasundaan” adalah ketika Islam datang.

Wallohu 'alam


Cat. : Sumber diambil dari Mbah Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar