Rabu, 08 Agustus 2012

Saya Memeluk Islam karena Mencintai Yesus


Dia bernama Ahmad Kainama, memeluk  Islam sejak tahun lalu, tepatnya pada tanggal 26 Agustus, bulan suci Ramadhan. Ia mengucapakan syahadat di Masjid Agung Sunda Kelapa.
Ia adalah pria keturunan Ambon yang seluruh keluarganya memeluk agama Kristen. Tidak ada Kainama yang menjadi Islam,” ujarnya. Itulah yang menyebabkan ia tidak diakui lagi oleh keluarga besarnya baik di Ambon maupun yang tinggal di Tanjung Priok, Jakarta hingga kini, karena keputusannya memeluk Islam.
Pria yang dulu bernama Agustinus Christovel Kainama mengaku keputusannya menjadi muslim, bukan karena ia mempelajari Al-Quran, melainkan karena ia memperdalam Injil sebagai kecintaannya kepada Yesus. Pada mulanya ia adalah sorang pendeta yang bertugas sejak 2005.
Ia bahkan pernah ke Yerussalem hingga ke Leiden untuk kuliah jurusan Liturgi Teologi, itu semua ia lakukan dengan biaya gratis yang ditanggung oleh Gereja Zebaot, Bogor, gereja di mana ia bertugas menjadi pendeta. Sekolah teologinya dibiayai oleh gereja itu mulai dari S1 di STT (Sekolah Tinggi Teologi) Jakarta, sampai menjadi orang sukses.
Apa yang membuat ia berubah? Rupanya setelah ia mempelajari Injil, ia memahami Nabi Isa ternyata juga menjalankan puasa, shalat, disunat, wudhu, tahajud dan bersedekah. “Semua itu dilakukan pula oleh umat Islam,” ujarnya. Saat sudah begitu dalam mengkaji Injil, ia malah memutuskan menjadi muslim karena apa yang dilakukan oleh Yesus.
Baginya itu adalah keputusan yang tepat. Apalagi sejak tahun 2000 pondasi keimanannya sebenarnya mulai runtuh lantaran ia memahami surat Yohanes 21 ayat 15 yang menjelaskan “sesudah sarapan, Yesus berkata kepada Petrus. Petrus apakah engkau mengasihi aku”. Bagi beliau, Yesus seorang Tuhan seharusnya tidak makan, karena ia bukan manusia. Tapi dalam ayat tadi disebutkan Yesus makan. Akhirnya Kainama mengambil kesimpulan bahwa Yesus bukan Tuhan.
Tahun 2000 sampai 2010 ialah masa tersulit bagi Kainama. Ia mengalami tekanan batin karena harus menceritakan kebohongan kepada orang-orang ketika masih menjadi seorang pendeta. Namun sejak keimanan goyah pada tahun 2000, ia belum berani untuk memeluk agama Islam. Ia merasa nyalinya masih ciut, ia tidak tahu harus berbuat apa karena selama ini kehidupannya dibiayai oleh Gereja Zebaot.
Tapi penolakan batinnya begitu kuat. Hingga, “Pernah pada suatu kali, ketika saya ada perjalanan pekabaran Injil di Orchad, Singapura. Saat saya mau khotbah, tiba-tiba saya ketakutan, berkeringat dan gemetar dan kemudian saya memegang pinggir mimbar, sampai-sampai orang-orang yang menyaksikan mengatakan saya disentuh Roh Kudus,” tuturnya. Padahal, sama sekali bukan. Ia ketakutan lantaran tak sanggup lagi melakukan kebohongan, sesuatu yang bertentangan dengan batinnya.
Atas petunjuk Allah, akhirnya keputusannya untuk memeluk Islam kian bulat. Ia mendatangi Masjid Agung Sunda Kelapa untuk membaca syahadat dan menjadi mualaf.
Setelah menjadi muslim, kehidupannya berubah. Ia merasa keyakinannya diuji karena tidak ada satu orang pun keluarganya yang menerima ia menjadi sorang muslim. Ia hidup sendiri, tanpa pekerjaan, tanpa uang, dan tanpa fasilitas selama ini yang ia miliki seperti mobil, dan baju-baju. Sampai ia harus tinggal menumpang di Sekolah Legenda Wisata (Global Mandiri), Cibubur, dan ia tidur di studio musik. Namun ia tetap pada pendiriannya. Kemampuannya bermusik pun akhirnya malah membuat ia diterima menjadi pengajar di studio musik sekolah tersebut.
Meski keluarga semuanya memusuhi, fasilitas yang ia miliki hilang, tapi ia merasa bersyukur karena Allah telah memberikan hidayah dan kedamaian batin kepadanya. Ia beryukur telah terlahir kembali menjadi seorang muslim dan meyakini telah berada di jalan yang benar.

REPUBLIKA.CO.ID (Rabu, 25 Juli 2012)

Jumat, 03 Agustus 2012

Demi Islam, Aku Rela Jadi Warga Negara Kelas Dua


Katherine Bullock seorang perempuan berpikiran terbuka, dan toleran. Tak heran, ketika ia melihat Muslimah tengah berjalan di jalanan Kanada, ia merasa berempati.
Ia melihat Muslimah begitu tertindas. “Aku merasa sedih melihat mereka, seperti tertindas. Aku ingin bertanya kepada mereka, sebenarnya mengapa kalian harus memakai pakaian tertutup,” kenang Katherine.
Lantaran tak tahan lagi, ia dekati seorang Muslimah. Lalu ia bertanya apa yang ada dalam pikirannya. Saat mendengar jawabannya, Katherine spontan menangis.
Ia tidak menyangka, jawaban yang terlontar dari bibir perempuan berpakaian serba tertutup. “Mereka menjawab, kami melakukan ini karena Allah,” ungkapnya.
Tangisan Katherine lebih kepada rasa iba dengan nasib muslimah. Menurutnya, muslimah telah dibohongi sejak kecil. Mereka seharusnya tahu, apa yang dikenakannya merupakan cara jahat dalam memperlakukan perempuan. Tapi, yang membuat Katherine heran, mengapa Muslimah itu kelihatan bahagia dan tidak tertekan.
Tak hanya Muslimah, Katherine acapkali melihat pria Muslim di jalan-jalan Kanada. Ia merasa gemetar. Ia teringat, sekelompok pria muslim membakar patung Presiden Bush, mereka lalu meneriakan nama Tuhannya.
Yang aneh, ketika Katherine berbicara dengan salah seorang dari mereka, kesan yang didapatkannya,  pria muslim itu berpembawaan tenang, ramah dan jauh dari apa yang dibayangkannya.
“Sebenarnya, Tuhan mana yang mereka sembah. Saya telah membaca Alquran namun belum ada hal istimewa yang kudapatkan,” kenang dia.
Tak puas, Katherine membaca Alkitab. Namun, ia tidak begitu memahami esensi di dalamnya. Apalagi ketika berbicara soal surga. Alkitab menggambarkan surga berisi perawan perempuan. Ia bertanya dalam dirinya tentang hubungan antara perempuan dengan surga.
“Pikirku, tak heran perempuan begitu tertindas. Mereka menjadi objek. Alquran tidak pernah mengatakan hal itu. Apakah ada yang salah,” kata dia.
Begitu yakin dengan Islam, Katherine mencoba belajar shalat. Tiba-tiba, ada muslimah datang menjadi makmum Katherine. Tak kuasa menahan tangis, ia mencoba fokus berdoa kepada Tuhan. “Ya Tuhan, dari sekian agama yang saya pelajari, hanya Islam yang masuk akal. Saya percaya kepada Engkau,” kata dia.
Sembari membungkuk, kedua tangan Katherin menyentuh kedua lututnya. Ia berusaha keras meyakinkan dirinya.
“Ya, Allah tolong bantu aku agar menjadi Muslimah yang baik. Seorang Muslimah. Tapi Katty,  bagaimana mungkin kamu, seorang wanita kulit putih berpendidikan memilih agama yang menjadikan anda seorang perempuan warga negara kelas dua!” gumam dia dalam hati.
Pergulatan dalam diri Katherine belumlah usai. Ia sempat mengutarakan niatnya memeluk Islam kepada kerabat dan teman dekatnya di Kingston. Niatnya itu segera ditentang keras. Kembali pergulatan terjadi. “Inilah perjalanan awal saya,” kata dia.
Setiap hari, Katherine selalu termenung. Ia lihat langit penuh bintang. Ia bayangkan semesta alam berputar dalam pikirannya. Ia merasa terhubung dengan sesuatu yang Maha Besar. Tapi ia bertanya-tanya, apakah itu hanyalah halusinasi. Kemampuan berpikirnya meragukan hal itu.
Dalam pikirannya, ia bertanya mengapa manusia tidak bisa melihat Tuhan.  Pertanyaan lain, bagaimana bisa Tuhan mendengarkan milyaran orang berdoa, dan memberikan kehidupan kepada milyaran orang itu dalam hitungan detik. Seolah buntu, ia kembali mencoba untuk shalat. Ia lihat warna hijau sajadah barunya disela jemarinya. “Aku tidak menemukan kunci untuk memahami hal ini,” kata dia.
Ketika masih duduk dibangku kuliah, Katherine memiliki bayangan lengkap tentang dunia ini. Memasuki tahun ketiga dan keempat. Bayangan itu runtuh sudah. Ia masih ingat, ketika masih menjadi jamaah gereja. Ia melihat orang yang rajin ke gereja itu cenderung  kuno dan membosankan. Meninggalkan gereja, tak jua membuatnya bahagia.
Ia merasa membutuhkan Tuhan tapi tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengannya. Setiap ia bertanya kepada gereja, jawaban yang ia dengar adalah dirinya adalah seorang yang berdosa karena mengabaikan Yesus. Lalu ia bertanya, lantas bagaimana dengan orang yang tidak mengenal Yesus apakah ia juga berdosa.
“Inilah yang aku alami. Aku kembali ke masa lalu, mencoba memperbaiki apa yang salah,” kata dia.
Setiap hari, Katherine menyesali sikapnya yang kurang setia kepada Tuhan. Namun, ia percaya Tuhan memaklumi apa yang ia lakukan. Ia kagum dengan kebesaran Tuhan yang tiada henti memberikannya rahmat meski dirinya seorang yang ingkar.
“Ya Tuhan, tunjukanlah jalan-Mu, dunia ini terlalu kompleks, tentu terlalu indah dan harmonis untuk melihat kehidupan dunia adalah sebuah kecelakaan atau hasil dari kekuatan evolusi,” kata dia dalam pikirannya.
Kali ini, kemampuan berpikir Katherine mengarahkan pencariannya kepada ilmu pengetahuan. Ia tahu, ilmu pengetahuan tidak pernah bertentangan dengan Islam. Tapi pikirannya yang nakal mencoba menguji seberapa akrab Islam dengan ilmu pengetahuan.
“Kadang, aku merasa kesal dengan daya imajinasi liar dalam pikiranku. Mungkin ini yang paling menentukan,” kata dia.
Pernah ia mendengar dialog dalam sebuah acara di radio. Dalam dialog itu melibatkan ahli fisika. Dengan fasih, ahli fisika itu menjelaskan bagaimana ilmu pengetahuan modern telah mencatat fenomena yang terjadi tidak masuk akal. Menurut ahli fisika itu, alam semesta dibangun oleh kecerdasan. “Saya baca lebih banyak, dan banyak lagi soal ini. Saya menemukan hanya antropolog gila yang percaya dengan teori evolusi. Kalau tidak, mungkin ia akan kehilangan pekerjaannya,” ungkapnya.
Kembali, imajinasi liar Katherine bermain. Menurutnya, jika seseorang memutuskan Allah itu ada, maka yang bersangkutan adalah seorang monoteis. Tapi ajaran Kristen juga bersifat moneteis. Lantas, mengapa banyak orang meninggalkannya. Bagi Katherine, pertanyaan ini sangat penting. “Tapi aku hanya tersenyum,” ucapnya.
Katherine telah mengetahui bahwa Alquran tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Tidak seperti Alkitab yang seolah menolak ilmu pengetahuan. Dari kisah yang ia baca, ia banyak menemukan fakta ilmiah bertentangan dengan Alkitab.
Sebaliknya, fakta ilmiah tidak bertentangan dengan Alquran. Bahkan, Alquran dapat menjelaskan apa yang kini menjadi bahwa kajian ilmu pengetahuan. “Ini menakjubkan,” katanya kagum.
Seperti misal, papar Katherine, ada ayat dalam Alquran yang menjelaskan bagaimana air dari sungai yang mengalir kelautan tidak bercampur. Lalu ada ayat yang menjelaskan bagaimana orbit planet.
“Ini gila, bagaimana sebuah buku yang turun pada abad ke tujuh ini dapat menjelaskan semuanya. Bagaimana mungkin Muhammad SAW... tapi hatiku menolaknya,” papar dia.
Katherine mulai mendatangi kembali gereja. Ia temukan dirinya menangis disetiap pelayanan. Ia merasa kesulitan untuk memilih. Ia hanya mendapati hal tidak masuk akal. Sebut saja, konsep Trinitas, Yesus adalah anak Allah, menyembah Bunda Maria. Saat ditanyakan hal itu, gereja meminta dirinya untuk tidak melihat alasan dibalik konsep itu.
Ia tidak begitu saja menerima seruan itu. Ia gali lebih dalam fondasi ajaran Kristen. Semakin dalam ia mengeksplorasi,  ia temukan bahwa perayaan Paskah telah dilembagakan ratusan tahun setelah kematian Yesus. Selanjutnya, ia mengetahui bahwa Yesus tidak pernah menyebut dirinya Tuhan. Sementara, kabar Alkitab yang menyebutkan Yesus adalah Tuhan baru muncul 300 ratus tahun kemudian. “Aku sangat marah. Mengapa, gereja tidak memberitahukanku tentang masalah ini,” kata dia.
Begitu kesal, hingga Katherine kembali meyakini bahwa Muhammad SAW memang Rasul Allah. Ia yakin bahwa Alquran adalah firman Allah. Alquran memberitahunya bahwa Yesus adalah Rasul Allah. Alquran juga mengajarkannya untuk bersikap cerdas. Alquran mendorongnya untuk mencari kebenaran hakiki. “Lagi-lagi, aku kembali membungkuk. Aku berdoa cukup lama,” ucapnya.
Katherine kembali dilema, keputusannya menjadi muslimah, akan membawa dirinya menjadi warga negara kelas dua. Ia akan menghadapi rangkaian perlakuan diskriminatif. Ia pertanyakan keberanian dirinya untuk menghadapi hal itu. Ia pertanyakan pula, keberaniannya mengenakan jilbab.
Setiap hari, Katherine tak berhenti memikirkan maslaah itu. Dalam pikirannya, terbayang bagaimana ia mengalami cacian, olok-olok dan pandangan sinis. “Ayo Katty, kamu bisa. Meski anda sendirian,” ikata dia.
Satu malam, Katherine melalui masjid dengan suaminya.Setiap melihat bangunan itu, ia merasa begitu terikat. Ia merasa ingin masuk ke dalam bangunan itu. Hatinya bergejolak. Antara menjadi muslim atau tetap dengan mencari kebenaran lain. “Aku seolah berjudi, ketika pengurus masjid mempersilahkan masuk, maka aku akan melakukannya. Jika, tidak ada orang yang menyambut, maka aku akan mengucapkan dua kalimat syahadat di bawah pohon dekat masjid. Aku menunggu, menunggu, ternyata tidak ada pengurus yang datang,” kenang dia.
Kembali, Katherine melaksanakan shalat. Ia kembali mengangkat kedua tangannya. Ia lihat sajadah hijau diantara sela jemarinya. “Dalam doaku, Ya Tuhan, aku berada disini karena Anda. Aku percaya kepada Anda. Aku percaya Kerasulan Muhammad SAW. Aku tahu, keputusanku benar. Tolong berikan kekuatan kepada hati saya untuk menjadi muslimah. Aku ingin mengabdi kepada-Mu,” ungkapnya.
Usai shalat dan berdoa, Katherine tersenyum. “Aku berdiri,  melipat sejadah. Lalu, aku berbaring di sofa. Aku merasakan bebanku hilang. Alhamdulillah,” pungkas dia.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID (Senin, 23 Juli 2012)

Kamis, 02 Agustus 2012

Islam Membuatku sempurna

“Setelah aku mati, apa yang terjadi selanjutnya,” demikian pertanyaan Katlin Hommik-Mrabte sewaktu usia tiga tahun. Ayahnya yang mendengar pertanyaan kritis itu spontan terkejut.
Ia tidak bisa menjawabnya. Sebab, selama Estonia bergabung dengan Uni Soviet, keimanan merupakan hal yang tahu. Hal itu masih tertanam dalam benak warga Estonia hingga negara itu memperoleh kemerdekaannya.
Katlin besar di Estonia. Sedari kecil, ia dididik bahwa Tuhan itu tidak ada. Sekalipun ada, bayangan itu terbatas yakni hanya berupa sosok berjubah putih, dengan janggut panjang. Selebihnya tidak ada bayangan sama sekali. “ Setiap kali, aku bertanya soal Tuhan. Ayah tampak diam seribu bahasa. Ia tidak bisa menjawabnya,” kenang Katlin.
Meski tidak mendapatkan jawaban, Katlin percaya adanya sosok Tuhan. Ia mungkin tidak tahu siapa sosok itu, dan dimana ia berada. Namun, dalam pemahaman Katlin, ketika ia berbuat baik maka perbuatan baik itu  bukan untuk orang tuanya melainkan untuk Tuhan. Karena menurut Katlin, Tuhan itu selalu mengawasinya sementara orang tuanya tidak sama sekali.
Sepulang dari sekolah, Katlin diajak sang ayah untuk melihat neneknya. Ia lahir ketika Republik Estonia berdiri. Ia merupakan penganut Kristen yang tersisa. Oleh neneknya, Katlin diajarkan nama dari sosok yang dicari yakni Tuhan Allah. “Ia mengajariku doa dalam kepercayaan Kristen. Sejak itu, benih-benih keimananku mulai tumbuh,” kata dia.
Pada usia 11 tahun, ia mengikuti sekolah minggu. Yang mengecewakan Katlin,  setiap pertanyaan yang terlontar tidak mendapat jawaban. Ia bahkan dianggap terlalu banyak bertanya. “Aku tidak memahami mereka. Apakah salah bertanya, mengapa Nabi Adam AS tidak disebut anak Tuhan. Meski ia tidak memiliki seorang ibu atau ayah,” kata dia.
Memasuki usia 15 tahun, Katlin mulai mendalami Kristen secara mandiri. Awalnya, ia menganggap dirinya Kristen. Tapi, ia memahami bahwa sulit untuk menggatakan dirinya seorang Kristen apabila banyak hal dari ajaran Kristen yang tidak ia pahami. “Saat itu,aku mulai mencari sesuatu yang lain,” kata dia.
Setelah belajar berbagai jenis agama akhirnya Katlin menemukan Islam. Butuh waktu lama, bagi Katlin untuk mempelajari Islam. Disisi lain, banyak orang yang menanyakan putusannya menjadi muslim. Setiap pertanyaan itu, membuat dirinya merasa dilema. “Sebenarnya siapa aku. Butuh tiga tahun hingga akhirnya aku mengatakan dengan lantang bahwa aku seorang muslim,” tegasnya.
Tepat di usia 21 tahun,  Katlin memeluk Islam. Selanjutnya, ia jalani puasa pertama. Ia tempa dirinya dengan baik sehingga memperkuat keimannya.  Ia merasakan bagaimana tidak makan dan minum seharian layaknya orang tidak mampu. Ramadhan mendidiknya untuk merasakan penderitaan orang lain, hingga akhirnya ia temukan kesempurnaan dan kebenaran.
“Sebagai muslim, kita benar-benar diberkati. Di bulan Ramadhan, setiap muslim dididik menjadi lebih baik. Insya Allah,” pungkas dia.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID (Senin, 23 Juli 2012)

Rabu, 01 Agustus 2012

Kisah Islamnya Mantan Direktur NATO


Islam adalah agama yang rasional dan universal. Ia bisa diterima dan sesuai dengan akal sehat. Agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Sebab, kendati diturunkan di Jazirah Arabia, agama Islam bukan hanya untuk orang Arab, tetapi juga bisa diterima oleh orang yang bukan Arab (Ajam).
Bahkan, ilmu-ilmu dan ajaran yang terkandung dalam Alquran, sesuai dengan pandangan hidup umat manusia. Karena itu, tak heran, bila agama yang dibawa oleh Muhammad SAW ini, dengan mudah diterima oleh orang-orang yang senantiasa menggunakan akal pikirannya. Itulah yang dialami Dr Murad Wilfried Hoffman, mantan Diplomat Jerman. Ia menerima agama Islam, disaat kariernya berada di puncak.
Dr Hoffman, menerima Islam pada 25 September 1980. Ia mengucapkan syahadat di Islamic Center Colonia yang dipimpin oleh Imam Muhammad Ahmad Rasoul. Ia dilahirkan dalam keluarga Katholik Jerman pada 3 Juli 1931. Dia adalah lulusan dari Union College di New York dan kemudian melengkapi namanya dengan gelar Doktor di bidang ilmu hukum dan yurisprodensi dari Universitas Munich, Jerman tahun 1957.
Selain itu, Hoffman dulunya adalah seorang asisten peneliti pada Reform of federal Civil Procedure. Dan pada tahun 1960, ia menerima gelar LLM dari Harvard Law School. Kemudian, pada tahun 1983-1987, ia ditunjuk menjadi direktur informasi NATO di Brussels. Selanjutnya, ia ditugaskan sebagai diplomat (duta besar) Jerman untuk Aljazair tahun 1987 dan dubes di Maroko tahun 1990-1994. Tahun 1982 ia berumrah, dan 10 tahun (1992) kemudian melaksanakan haji.
Namun, justru sebelum di Aljazair dan Maroko inilah, Hoffman memeluk Islam. Dan ia baru mempublikasikan keislamannya setelah dirinya menulis sebuah buku yang berjudul Der Islam als Alternative (Islam sebagai Alternatif) tahun 1992. Setelah terbit bukunya ini, maka gemparlah Jerman.
Dalam buku tersebut, ia tidak saja menjelaskan bahwa Islam adalah alternatif yang paling baik bagi peradaban Barat yang sudah kropos dan kehilangan justifikasinya, namun secara eksplisit Hoffman mengatakan, bahwa agama Islam adalah agama alternatif bagi masyarakat Barat.
''Islam tidak menawarkan dirinya sebagai alternatif yang lain bagi masyarakat Barat pasca industri. Karena memang hanya Islam-lah satu-satunya alternatif itu,'' tulisnya.
Karena itu, tidak mengherankan saat buku itu belum terbit saja telah menggegerkan masyarakat Jerman. Mulanya adalah wawancara televisi saluran I dengan Murad Hoffman. Dan dalam wawancara tersebut, Hoffman bercerita tentang bukunya yang -ketika itu- sebentar lagi akan terbit itu.
Saat wawancara tersebut disiarkan, seketika gemparlah seluruh media massa dan masyarakat Jerman. Dan serentak mereka mencerca dan menggugat Hoffman, hingga mereka membaca buku tersebut.
Hal ini tidak hanya dilakukan oleh media massa murahan yang kecil, namun juga oleh media massa yang besar semacam Der Spigel. Malah pada kesempatan yang lain, televisi Jerman men-shooting Murad Hoffman saat ia sedang melaksanakan shalat di atas Sajadahnya, di kantor Duta Besar Jerman di Maroko, sambil dikomentari oleh sang reporter: “Apakah logis jika Jerman berubah menjadi Negara Islam yang tunduk terhadap hukum Tuhan?”
Hoffman tersenyum mendengar komentar sang reporter. ''Jika aku telah berhasil mengemukakan sesuatu, maka sesuatu itu adalah suatu realitas yang pedih.'' Artinya, Ia paham bahwa keislamannya akan membuat warga Jerman marah. Namun ia sadar, segela sesuatu harus ia hadapi apapun resikonya. Dan baginya Islam adalah agama yang rasional dan maju.
Sebagai seorang diplomat, pemikiran Hoffman terkenal sangat brilian. Karena itu pula, ia menambah nama depannya dengan Murad, yang berarti yang dicari. Leopold Weist, seorang Muslim Austria yang kemudian berganti nama menjadi Muhamad Asad, mengatakan, dalam pengertian luas, Murad adalah tujuan, yang tujuan tertinggi Wilfried Hoffman.
Keislaman Hoffman dilandasi oleh rasa keprihatinannya pada dunia barat yang mulai kehilangan moral. Agama yang dulu dianutnya dirasakannya tak mampu mengobati rasa kekecewaan dan keprihatinannya akan kondisi tersebut.
Apalagi, ketika ia bertugas menjadi Atase di Kedutaan besar Jerman di Aljazair, ia menyaksikan sikap umat Islam Aljazair yang begitu sabar, kuat dan tabah menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan dari umat lain. Atas dasar itu dan sikap orang Eropa yang mulai kehilangan jati diri dan moralnya, Hoffman memutuskan untuk memeluk Islam.
Ia merasa terbebani dengan pemikiran manusia yang harus menerima dosa asal (turunan/warisan) dan adanya Tuhan selain Allah. Mengapa Tuhan harus memiliki anak dan kemudian disiksa dan dibunuh di kayu salib untuk menyelamatkan diri sendiri. ''Ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak punya kuasa,'' tegasnya.
Bahkan, sewaktu masa dalam masa pencarian Tuhan, Hoffman pernah memikirkan tentang keberadaan Allah. ia lalu melakukan analisa terhadap karya-karya filsuf seperti Wittgenstein, Pascal, Swinburn, dan Kant, hingga akhirnya ia dengan yakin menemukan bahwa Tuhan itu ada.
Ia kemudian bertanya; ''Bagaimana Allah berkomunikasi dengan manusia dan membimbingnya?'' Disini ia menemukan adanya wahyu yang difirmankan Tuhan. Dan ketika membandingkan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, yang umatnya diberi wahyu, Hoffman menemukannya dalam Islam, yang secara tegas menolak adanya dosa warisan.
Ketika manusia berdoa, mereka harusnya tidak berdoa atau meminta kepada tuhan lain selain Allah, sang Pencipta. ''Seorang Muslim hidup di dunia tanpa pendeta dan tanpa hierarki keagamaan; ketika berdoa, ia tidak berdoa melalui Yesus, Maria, atau orang-orang suci, tetapi langsung kepada Allah,'' tegasnya.
Karena itulah, saya melihat bahwa agama Islam adalah agama yang murni dan bersih dari kesyirikan atau adanya persekutuan Allah dengan makhluknya. ''Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan,'' ujarnya.
Dalam bukunya Der Islam Als Alternative, Annie Marie Schimmel memberikan kata pengantar dengan mengutip kata-kata Goethe. ''Jika Islam berarti ketundukan denga penuh ketulusan, maka atas dasar Islam-lah selayaknya kita hidup dan mati.''
Dalam bukunya Trend Islam 2000, Hoffman menyebutkan, potensi masa depan peradaban Islam. Ia menjelaskan, ada tiga sikap muslim terhadap masa depan mereka. Yakni, kelompok pesimis (yang melihat perjalanan sejarah selalu menurun), kelompok stagnan (yang melihat sejarah Islam seperti gelombang yang naik turun), dan ketiga kelompok optimis (umat yang melihat masa depannya terus maju). Karena itu, ia mengajak umat Islam untuk senantiasa bersikap optimis dan menatap hari esok yang lebih baik.
Hoffman juga banyak terlibat aktif dalam organisasi keislaman, seperti OKI. Ia senantiasa menyampaikan pemikiran-pemikiran briliannya untuk kemajuan Islam. Pada pertengahan September 2009 lalu, ia dinobatkan sebagai Muslim Personality of The Year (Muslim Berkepribadian Tahun Ini), yang diselenggarakan oleh Dubai International Holy Quran Award (DIHQA). Penghargaan serupa pernah diberikan pada Syekh Dr Yusuf al-Qaradhawi.

Beberapa Alasan Hoffman Memilih Islam
Ada beberapa alasan yang membuat Murad Wilfried Hoffman akhirnya keluar dari Katholik dan memilih Islam. Dan alasan-lasan itu sangat membekas dalam pikirannya.
Tahun 1961, ketika ia bertugas sebagai Atase di Kedutaan Besar Jerman, ia mendapati dirinya berada di tengah-tengah perang gerilya berdarah antara tentara Prancis dan Front Nasional Aljazair yang telah berjuang untuk kemerdekaan Aljazair, selama delapan tahun. Disana ia menyaksikan kekejaman dan pembantaian yang dialami penduduk Aljazair. Setiap hari, banyak penduduk Aljazair tewas.
''Saya menyaksikan kesabaran dan ketahanan orang-orang Aljazair dalam menghadapi penderitaan ekstrem, mereka sangat disiplin dan menjalankan puasa selama bulan Ramadhan, rasa percaya diri mereka sangat tinggi akan kemenangan yang akan diraih. Saya sangat salut dan bangga dengan sikap mereka,'' ujarnya.
Alasan lain yang membuatnya memilih Islam, Hoffman adalah seorang penyuka seni dan keindahan. ''Seni punya beragam kesenian yang sangat menarik dan indah, termasuk seni arsitekturnya. Hampir semua ruangan dimanifestasikan dalam seni keindahan Islam yang universal. Mulai dari kaligrafi, pola karpet, ruang bangunan dan arsitektur masjid, menunjukkan kuatnya seni Islam,'' jelasnya.
Dari beberapa alasan diatas, persoalan yang benar-benar membuatnya harus memeluk Islam, karena hanya agama ini yang tidak mengajarkan doktrin tentang dosa warisan.
Pernyataan yang terdapat dalam Alquran sangat jelas, rasional dan tegas. ''Tak ada keraguan bagi saya akan kebenaran Islam dan misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW,'' paparnya.

Biodata Murad Wilfried Hoffman
Lahir : Jerman, 6 September 1931
Masuk Islam : 25 September 1980
Pekerjaan : Direktur Informasi NATO di Brussels Belgia (1983-1987), Duta Besar Jerman untuk Aljazair (1987-1990), Duta Besar Jerman untuk Maroko (1990-1994), Penulis

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID (Minggu, 22 Juli 2012)

Tahapan Untuk Memeluk Islam


Yakini Kebenaran Islam Dahulu, Baru Syahadat

Sangat penting bagi mualaf untuk mengetahui dan membenarkankan ajaran Islam sebelum ia memutuskan untuk menjadi muslim. Dengan begitu, ketika proses pembinaan berlangsung, ia kian mantap mendalami ajaran Islam.

Ada 3 tahapan yang perlu dilalui seorang hendak memeluk Islam.
Tahapan I Tasdiqun bil Iman, (membenarkan dalam hati bahwa Islam itu benar).
Jadi, tahapan pertama bukanlah syahadat. Salah kaprah bila ada seseorang yang menyatakan niat memeluk Islam lalu dianjurkan padanya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Padahal, ia sendiri belum tahu apa itu Islam. Untuk mereka yang niat, sebaiknya cari tahu terlebih dahulu informasi tentang Islam seperti misal lewat riset, kajian, baru setelah itu, setelah yakin baru ucapkan dua kalimat syahadat.
Tahapan II Iqrarun Bil lisan (Mengucapkan dua kalimat syadat).
Dalam surat Al-Hujurat ayat 14, disebutkan tidaklah seseorang menjadi Islam ketika hatinya belum membenarkan Islam.
Tahapan III Amalun bil Arkan (mempraktekkan apa yang telah kita benarkan).
Dalam surat al-an'am ayat 125 dijelaskan siapa yang diinginkan Allah (mendapat hidayah) maka Allah akan memberikan kemudahan kepada mereka.
Jadi, ketika seseorang hendak menjadi muslim alangkah baiknya untuk mengetahui dan membenarkan Islam. Selanjutnya, ucapkan dengan lisan dan praktekkan dengan perbuatan.
Urusan sulit atau gampang, Allah SWT telah memberikan 50 persen subsidi kemudahan kepada mereka yang mau mendalami Islam, sementara 50 persen sisanya berasal dari diri seseorang itu sendiri.