Jumat, 03 Agustus 2012

Demi Islam, Aku Rela Jadi Warga Negara Kelas Dua


Katherine Bullock seorang perempuan berpikiran terbuka, dan toleran. Tak heran, ketika ia melihat Muslimah tengah berjalan di jalanan Kanada, ia merasa berempati.
Ia melihat Muslimah begitu tertindas. “Aku merasa sedih melihat mereka, seperti tertindas. Aku ingin bertanya kepada mereka, sebenarnya mengapa kalian harus memakai pakaian tertutup,” kenang Katherine.
Lantaran tak tahan lagi, ia dekati seorang Muslimah. Lalu ia bertanya apa yang ada dalam pikirannya. Saat mendengar jawabannya, Katherine spontan menangis.
Ia tidak menyangka, jawaban yang terlontar dari bibir perempuan berpakaian serba tertutup. “Mereka menjawab, kami melakukan ini karena Allah,” ungkapnya.
Tangisan Katherine lebih kepada rasa iba dengan nasib muslimah. Menurutnya, muslimah telah dibohongi sejak kecil. Mereka seharusnya tahu, apa yang dikenakannya merupakan cara jahat dalam memperlakukan perempuan. Tapi, yang membuat Katherine heran, mengapa Muslimah itu kelihatan bahagia dan tidak tertekan.
Tak hanya Muslimah, Katherine acapkali melihat pria Muslim di jalan-jalan Kanada. Ia merasa gemetar. Ia teringat, sekelompok pria muslim membakar patung Presiden Bush, mereka lalu meneriakan nama Tuhannya.
Yang aneh, ketika Katherine berbicara dengan salah seorang dari mereka, kesan yang didapatkannya,  pria muslim itu berpembawaan tenang, ramah dan jauh dari apa yang dibayangkannya.
“Sebenarnya, Tuhan mana yang mereka sembah. Saya telah membaca Alquran namun belum ada hal istimewa yang kudapatkan,” kenang dia.
Tak puas, Katherine membaca Alkitab. Namun, ia tidak begitu memahami esensi di dalamnya. Apalagi ketika berbicara soal surga. Alkitab menggambarkan surga berisi perawan perempuan. Ia bertanya dalam dirinya tentang hubungan antara perempuan dengan surga.
“Pikirku, tak heran perempuan begitu tertindas. Mereka menjadi objek. Alquran tidak pernah mengatakan hal itu. Apakah ada yang salah,” kata dia.
Begitu yakin dengan Islam, Katherine mencoba belajar shalat. Tiba-tiba, ada muslimah datang menjadi makmum Katherine. Tak kuasa menahan tangis, ia mencoba fokus berdoa kepada Tuhan. “Ya Tuhan, dari sekian agama yang saya pelajari, hanya Islam yang masuk akal. Saya percaya kepada Engkau,” kata dia.
Sembari membungkuk, kedua tangan Katherin menyentuh kedua lututnya. Ia berusaha keras meyakinkan dirinya.
“Ya, Allah tolong bantu aku agar menjadi Muslimah yang baik. Seorang Muslimah. Tapi Katty,  bagaimana mungkin kamu, seorang wanita kulit putih berpendidikan memilih agama yang menjadikan anda seorang perempuan warga negara kelas dua!” gumam dia dalam hati.
Pergulatan dalam diri Katherine belumlah usai. Ia sempat mengutarakan niatnya memeluk Islam kepada kerabat dan teman dekatnya di Kingston. Niatnya itu segera ditentang keras. Kembali pergulatan terjadi. “Inilah perjalanan awal saya,” kata dia.
Setiap hari, Katherine selalu termenung. Ia lihat langit penuh bintang. Ia bayangkan semesta alam berputar dalam pikirannya. Ia merasa terhubung dengan sesuatu yang Maha Besar. Tapi ia bertanya-tanya, apakah itu hanyalah halusinasi. Kemampuan berpikirnya meragukan hal itu.
Dalam pikirannya, ia bertanya mengapa manusia tidak bisa melihat Tuhan.  Pertanyaan lain, bagaimana bisa Tuhan mendengarkan milyaran orang berdoa, dan memberikan kehidupan kepada milyaran orang itu dalam hitungan detik. Seolah buntu, ia kembali mencoba untuk shalat. Ia lihat warna hijau sajadah barunya disela jemarinya. “Aku tidak menemukan kunci untuk memahami hal ini,” kata dia.
Ketika masih duduk dibangku kuliah, Katherine memiliki bayangan lengkap tentang dunia ini. Memasuki tahun ketiga dan keempat. Bayangan itu runtuh sudah. Ia masih ingat, ketika masih menjadi jamaah gereja. Ia melihat orang yang rajin ke gereja itu cenderung  kuno dan membosankan. Meninggalkan gereja, tak jua membuatnya bahagia.
Ia merasa membutuhkan Tuhan tapi tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengannya. Setiap ia bertanya kepada gereja, jawaban yang ia dengar adalah dirinya adalah seorang yang berdosa karena mengabaikan Yesus. Lalu ia bertanya, lantas bagaimana dengan orang yang tidak mengenal Yesus apakah ia juga berdosa.
“Inilah yang aku alami. Aku kembali ke masa lalu, mencoba memperbaiki apa yang salah,” kata dia.
Setiap hari, Katherine menyesali sikapnya yang kurang setia kepada Tuhan. Namun, ia percaya Tuhan memaklumi apa yang ia lakukan. Ia kagum dengan kebesaran Tuhan yang tiada henti memberikannya rahmat meski dirinya seorang yang ingkar.
“Ya Tuhan, tunjukanlah jalan-Mu, dunia ini terlalu kompleks, tentu terlalu indah dan harmonis untuk melihat kehidupan dunia adalah sebuah kecelakaan atau hasil dari kekuatan evolusi,” kata dia dalam pikirannya.
Kali ini, kemampuan berpikir Katherine mengarahkan pencariannya kepada ilmu pengetahuan. Ia tahu, ilmu pengetahuan tidak pernah bertentangan dengan Islam. Tapi pikirannya yang nakal mencoba menguji seberapa akrab Islam dengan ilmu pengetahuan.
“Kadang, aku merasa kesal dengan daya imajinasi liar dalam pikiranku. Mungkin ini yang paling menentukan,” kata dia.
Pernah ia mendengar dialog dalam sebuah acara di radio. Dalam dialog itu melibatkan ahli fisika. Dengan fasih, ahli fisika itu menjelaskan bagaimana ilmu pengetahuan modern telah mencatat fenomena yang terjadi tidak masuk akal. Menurut ahli fisika itu, alam semesta dibangun oleh kecerdasan. “Saya baca lebih banyak, dan banyak lagi soal ini. Saya menemukan hanya antropolog gila yang percaya dengan teori evolusi. Kalau tidak, mungkin ia akan kehilangan pekerjaannya,” ungkapnya.
Kembali, imajinasi liar Katherine bermain. Menurutnya, jika seseorang memutuskan Allah itu ada, maka yang bersangkutan adalah seorang monoteis. Tapi ajaran Kristen juga bersifat moneteis. Lantas, mengapa banyak orang meninggalkannya. Bagi Katherine, pertanyaan ini sangat penting. “Tapi aku hanya tersenyum,” ucapnya.
Katherine telah mengetahui bahwa Alquran tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Tidak seperti Alkitab yang seolah menolak ilmu pengetahuan. Dari kisah yang ia baca, ia banyak menemukan fakta ilmiah bertentangan dengan Alkitab.
Sebaliknya, fakta ilmiah tidak bertentangan dengan Alquran. Bahkan, Alquran dapat menjelaskan apa yang kini menjadi bahwa kajian ilmu pengetahuan. “Ini menakjubkan,” katanya kagum.
Seperti misal, papar Katherine, ada ayat dalam Alquran yang menjelaskan bagaimana air dari sungai yang mengalir kelautan tidak bercampur. Lalu ada ayat yang menjelaskan bagaimana orbit planet.
“Ini gila, bagaimana sebuah buku yang turun pada abad ke tujuh ini dapat menjelaskan semuanya. Bagaimana mungkin Muhammad SAW... tapi hatiku menolaknya,” papar dia.
Katherine mulai mendatangi kembali gereja. Ia temukan dirinya menangis disetiap pelayanan. Ia merasa kesulitan untuk memilih. Ia hanya mendapati hal tidak masuk akal. Sebut saja, konsep Trinitas, Yesus adalah anak Allah, menyembah Bunda Maria. Saat ditanyakan hal itu, gereja meminta dirinya untuk tidak melihat alasan dibalik konsep itu.
Ia tidak begitu saja menerima seruan itu. Ia gali lebih dalam fondasi ajaran Kristen. Semakin dalam ia mengeksplorasi,  ia temukan bahwa perayaan Paskah telah dilembagakan ratusan tahun setelah kematian Yesus. Selanjutnya, ia mengetahui bahwa Yesus tidak pernah menyebut dirinya Tuhan. Sementara, kabar Alkitab yang menyebutkan Yesus adalah Tuhan baru muncul 300 ratus tahun kemudian. “Aku sangat marah. Mengapa, gereja tidak memberitahukanku tentang masalah ini,” kata dia.
Begitu kesal, hingga Katherine kembali meyakini bahwa Muhammad SAW memang Rasul Allah. Ia yakin bahwa Alquran adalah firman Allah. Alquran memberitahunya bahwa Yesus adalah Rasul Allah. Alquran juga mengajarkannya untuk bersikap cerdas. Alquran mendorongnya untuk mencari kebenaran hakiki. “Lagi-lagi, aku kembali membungkuk. Aku berdoa cukup lama,” ucapnya.
Katherine kembali dilema, keputusannya menjadi muslimah, akan membawa dirinya menjadi warga negara kelas dua. Ia akan menghadapi rangkaian perlakuan diskriminatif. Ia pertanyakan keberanian dirinya untuk menghadapi hal itu. Ia pertanyakan pula, keberaniannya mengenakan jilbab.
Setiap hari, Katherine tak berhenti memikirkan maslaah itu. Dalam pikirannya, terbayang bagaimana ia mengalami cacian, olok-olok dan pandangan sinis. “Ayo Katty, kamu bisa. Meski anda sendirian,” ikata dia.
Satu malam, Katherine melalui masjid dengan suaminya.Setiap melihat bangunan itu, ia merasa begitu terikat. Ia merasa ingin masuk ke dalam bangunan itu. Hatinya bergejolak. Antara menjadi muslim atau tetap dengan mencari kebenaran lain. “Aku seolah berjudi, ketika pengurus masjid mempersilahkan masuk, maka aku akan melakukannya. Jika, tidak ada orang yang menyambut, maka aku akan mengucapkan dua kalimat syahadat di bawah pohon dekat masjid. Aku menunggu, menunggu, ternyata tidak ada pengurus yang datang,” kenang dia.
Kembali, Katherine melaksanakan shalat. Ia kembali mengangkat kedua tangannya. Ia lihat sajadah hijau diantara sela jemarinya. “Dalam doaku, Ya Tuhan, aku berada disini karena Anda. Aku percaya kepada Anda. Aku percaya Kerasulan Muhammad SAW. Aku tahu, keputusanku benar. Tolong berikan kekuatan kepada hati saya untuk menjadi muslimah. Aku ingin mengabdi kepada-Mu,” ungkapnya.
Usai shalat dan berdoa, Katherine tersenyum. “Aku berdiri,  melipat sejadah. Lalu, aku berbaring di sofa. Aku merasakan bebanku hilang. Alhamdulillah,” pungkas dia.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID (Senin, 23 Juli 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar