Katherine Bullock seorang perempuan berpikiran
terbuka, dan toleran. Tak heran, ketika ia melihat Muslimah tengah berjalan di
jalanan Kanada, ia merasa berempati.
Ia melihat Muslimah begitu tertindas. “Aku
merasa sedih melihat mereka, seperti tertindas. Aku ingin bertanya kepada
mereka, sebenarnya mengapa kalian harus memakai pakaian tertutup,” kenang
Katherine.
Lantaran tak tahan lagi, ia dekati seorang
Muslimah. Lalu ia bertanya apa yang ada dalam pikirannya. Saat mendengar
jawabannya, Katherine spontan menangis.
Ia tidak menyangka, jawaban yang terlontar
dari bibir perempuan berpakaian serba tertutup. “Mereka menjawab, kami
melakukan ini karena Allah,” ungkapnya.
Tangisan Katherine lebih kepada rasa iba
dengan nasib muslimah. Menurutnya, muslimah telah dibohongi sejak kecil. Mereka
seharusnya tahu, apa yang dikenakannya merupakan cara jahat dalam memperlakukan
perempuan. Tapi, yang membuat Katherine heran, mengapa Muslimah itu kelihatan
bahagia dan tidak tertekan.
Tak hanya Muslimah, Katherine acapkali melihat
pria Muslim di jalan-jalan Kanada. Ia merasa gemetar. Ia teringat, sekelompok
pria muslim membakar patung Presiden Bush, mereka lalu meneriakan nama
Tuhannya.
Yang aneh, ketika Katherine berbicara dengan
salah seorang dari mereka, kesan yang didapatkannya, pria muslim itu
berpembawaan tenang, ramah dan jauh dari apa yang dibayangkannya.
“Sebenarnya, Tuhan mana yang mereka sembah.
Saya telah membaca Alquran namun belum ada hal istimewa yang kudapatkan,”
kenang dia.
Tak puas, Katherine membaca Alkitab. Namun, ia
tidak begitu memahami esensi di dalamnya. Apalagi ketika berbicara soal surga.
Alkitab menggambarkan surga berisi perawan perempuan. Ia bertanya dalam dirinya
tentang hubungan antara perempuan dengan surga.
“Pikirku, tak heran perempuan begitu
tertindas. Mereka menjadi objek. Alquran tidak pernah mengatakan hal itu.
Apakah ada yang salah,” kata dia.
Begitu yakin dengan Islam, Katherine mencoba
belajar shalat. Tiba-tiba, ada muslimah datang menjadi makmum Katherine. Tak
kuasa menahan tangis, ia mencoba fokus berdoa kepada Tuhan. “Ya Tuhan, dari
sekian agama yang saya pelajari, hanya Islam yang masuk akal. Saya percaya
kepada Engkau,” kata dia.
Sembari
membungkuk, kedua tangan Katherin menyentuh kedua lututnya. Ia berusaha keras
meyakinkan dirinya.
“Ya, Allah
tolong bantu aku agar menjadi Muslimah yang baik. Seorang Muslimah. Tapi
Katty, bagaimana mungkin kamu, seorang wanita kulit putih berpendidikan
memilih agama yang menjadikan anda seorang perempuan warga negara kelas dua!”
gumam dia dalam hati.
Pergulatan
dalam diri Katherine belumlah usai. Ia sempat mengutarakan niatnya memeluk
Islam kepada kerabat dan teman dekatnya di Kingston. Niatnya itu segera
ditentang keras. Kembali pergulatan terjadi. “Inilah perjalanan awal saya,”
kata dia.
Setiap hari,
Katherine selalu termenung. Ia lihat langit penuh bintang. Ia bayangkan semesta
alam berputar dalam pikirannya. Ia merasa terhubung dengan sesuatu yang Maha
Besar. Tapi ia bertanya-tanya, apakah itu hanyalah halusinasi. Kemampuan
berpikirnya meragukan hal itu.
Dalam
pikirannya, ia bertanya mengapa manusia tidak bisa melihat Tuhan.
Pertanyaan lain, bagaimana bisa Tuhan mendengarkan milyaran orang berdoa, dan
memberikan kehidupan kepada milyaran orang itu dalam hitungan detik. Seolah
buntu, ia kembali mencoba untuk shalat. Ia lihat warna hijau sajadah barunya
disela jemarinya. “Aku tidak menemukan kunci untuk memahami hal ini,” kata dia.
Ketika masih
duduk dibangku kuliah, Katherine memiliki bayangan lengkap tentang dunia ini.
Memasuki tahun ketiga dan keempat. Bayangan itu runtuh sudah. Ia masih ingat,
ketika masih menjadi jamaah gereja. Ia melihat orang yang rajin ke gereja itu
cenderung kuno dan membosankan. Meninggalkan gereja, tak jua membuatnya
bahagia.
Ia merasa
membutuhkan Tuhan tapi tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengannya.
Setiap ia bertanya kepada gereja, jawaban yang ia dengar adalah dirinya adalah
seorang yang berdosa karena mengabaikan Yesus. Lalu ia bertanya, lantas
bagaimana dengan orang yang tidak mengenal Yesus apakah ia juga berdosa.
“Inilah yang
aku alami. Aku kembali ke masa lalu, mencoba memperbaiki apa yang salah,” kata
dia.
Setiap hari,
Katherine menyesali sikapnya yang kurang setia kepada Tuhan. Namun, ia percaya
Tuhan memaklumi apa yang ia lakukan. Ia kagum dengan kebesaran Tuhan yang tiada
henti memberikannya rahmat meski dirinya seorang yang ingkar.
“Ya Tuhan,
tunjukanlah jalan-Mu, dunia ini terlalu kompleks, tentu terlalu indah dan
harmonis untuk melihat kehidupan dunia adalah sebuah kecelakaan atau hasil dari
kekuatan evolusi,” kata dia dalam pikirannya.
Kali ini,
kemampuan berpikir Katherine mengarahkan pencariannya kepada ilmu pengetahuan.
Ia tahu, ilmu pengetahuan tidak pernah bertentangan dengan Islam. Tapi
pikirannya yang nakal mencoba menguji seberapa akrab Islam dengan ilmu
pengetahuan.
“Kadang, aku
merasa kesal dengan daya imajinasi liar dalam pikiranku. Mungkin ini yang
paling menentukan,” kata dia.
Pernah ia
mendengar dialog dalam sebuah acara di radio. Dalam dialog itu melibatkan ahli
fisika. Dengan fasih, ahli fisika itu menjelaskan bagaimana ilmu pengetahuan
modern telah mencatat fenomena yang terjadi tidak masuk akal. Menurut ahli
fisika itu, alam semesta dibangun oleh kecerdasan. “Saya baca lebih banyak, dan
banyak lagi soal ini. Saya menemukan hanya antropolog gila yang percaya dengan
teori evolusi. Kalau tidak, mungkin ia akan kehilangan pekerjaannya,”
ungkapnya.
Kembali,
imajinasi liar Katherine bermain. Menurutnya, jika seseorang memutuskan Allah
itu ada, maka yang bersangkutan adalah seorang monoteis. Tapi ajaran Kristen
juga bersifat moneteis. Lantas, mengapa banyak orang meninggalkannya. Bagi
Katherine, pertanyaan ini sangat penting. “Tapi aku hanya tersenyum,” ucapnya.
Katherine
telah mengetahui bahwa Alquran tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Tidak seperti Alkitab yang seolah menolak ilmu pengetahuan. Dari kisah yang ia
baca, ia banyak menemukan fakta ilmiah bertentangan dengan Alkitab.
Sebaliknya,
fakta ilmiah tidak bertentangan dengan Alquran. Bahkan, Alquran dapat
menjelaskan apa yang kini menjadi bahwa kajian ilmu pengetahuan. “Ini
menakjubkan,” katanya kagum.
Seperti
misal, papar Katherine, ada ayat dalam Alquran yang menjelaskan bagaimana air
dari sungai yang mengalir kelautan tidak bercampur. Lalu ada ayat yang
menjelaskan bagaimana orbit planet.
“Ini gila,
bagaimana sebuah buku yang turun pada abad ke tujuh ini dapat menjelaskan
semuanya. Bagaimana mungkin Muhammad SAW... tapi hatiku menolaknya,” papar dia.
Katherine
mulai mendatangi kembali gereja. Ia temukan dirinya menangis disetiap
pelayanan. Ia merasa kesulitan untuk memilih. Ia hanya mendapati hal tidak
masuk akal. Sebut saja, konsep Trinitas, Yesus adalah anak Allah, menyembah
Bunda Maria. Saat ditanyakan hal itu, gereja meminta dirinya untuk tidak
melihat alasan dibalik konsep itu.
Ia tidak
begitu saja menerima seruan itu. Ia gali lebih dalam fondasi ajaran Kristen.
Semakin dalam ia mengeksplorasi, ia temukan bahwa perayaan Paskah telah
dilembagakan ratusan tahun setelah kematian Yesus. Selanjutnya, ia mengetahui
bahwa Yesus tidak pernah menyebut dirinya Tuhan. Sementara, kabar Alkitab yang
menyebutkan Yesus adalah Tuhan baru muncul 300 ratus tahun kemudian. “Aku
sangat marah. Mengapa, gereja tidak memberitahukanku tentang masalah ini,” kata
dia.
Begitu kesal,
hingga Katherine kembali meyakini bahwa Muhammad SAW memang Rasul Allah. Ia
yakin bahwa Alquran adalah firman Allah. Alquran memberitahunya bahwa Yesus
adalah Rasul Allah. Alquran juga mengajarkannya untuk bersikap cerdas. Alquran
mendorongnya untuk mencari kebenaran hakiki. “Lagi-lagi, aku kembali
membungkuk. Aku berdoa cukup lama,” ucapnya.
Katherine
kembali dilema, keputusannya menjadi muslimah, akan membawa dirinya menjadi
warga negara kelas dua. Ia akan menghadapi rangkaian perlakuan diskriminatif.
Ia pertanyakan keberanian dirinya untuk menghadapi hal itu. Ia pertanyakan
pula, keberaniannya mengenakan jilbab.
Setiap hari,
Katherine tak berhenti memikirkan maslaah itu. Dalam pikirannya, terbayang
bagaimana ia mengalami cacian, olok-olok dan pandangan sinis. “Ayo Katty, kamu
bisa. Meski anda sendirian,” ikata dia.
Satu malam,
Katherine melalui masjid dengan suaminya.Setiap melihat bangunan itu, ia merasa
begitu terikat. Ia merasa ingin masuk ke dalam bangunan itu. Hatinya
bergejolak. Antara menjadi muslim atau tetap dengan mencari kebenaran lain. “Aku
seolah berjudi, ketika pengurus masjid mempersilahkan masuk, maka aku akan
melakukannya. Jika, tidak ada orang yang menyambut, maka aku akan mengucapkan
dua kalimat syahadat di bawah pohon dekat masjid. Aku menunggu, menunggu,
ternyata tidak ada pengurus yang datang,” kenang dia.
Kembali,
Katherine melaksanakan shalat. Ia kembali mengangkat kedua tangannya. Ia lihat
sajadah hijau diantara sela jemarinya. “Dalam doaku, Ya Tuhan, aku berada
disini karena Anda. Aku percaya kepada Anda. Aku percaya Kerasulan Muhammad
SAW. Aku tahu, keputusanku benar. Tolong berikan kekuatan kepada hati saya
untuk menjadi muslimah. Aku ingin mengabdi kepada-Mu,” ungkapnya.
Usai shalat
dan berdoa, Katherine tersenyum. “Aku berdiri, melipat sejadah. Lalu, aku
berbaring di sofa. Aku merasakan bebanku hilang. Alhamdulillah,” pungkas dia.
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID (Senin, 23 Juli 2012)