Ada beberapa
pertanyaan kami tentang peristiwa yang terjadi di Cikeusik hari Minggu lalu.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Tentang kesan
pembiaran dan ketidaksigapan polisi. Hari Jumat (4 Februari 2011),
ketika massa sudah mulai berdatangan ke Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten,
aparat lokal sebenarnya sudah tahu tentang hal itu. Polsek sudah mengerahkan
polisi ke lokasi. Polres sudah tahu dan sudah siaga. Menurut kabar dari
keluarga seorang kawan di ANTV, sejak Jumat itu aparat di seluruh Kabupaten
Pandeglang sudah tahu kalau ada rombongan massa yang datang ke Cikeusik. Hari
itu juga Suparman (tokoh Ahmadiyah lokal) dan keluarganya pun sudah dievakuasi
polisi. Kemudian pada Sabtu malam (5 Februari 2011), massa Ahmadiyah datang
dengan dua mobil dari Bogor dan Jakarta.
Menurut
polisi, mereka telah menyuruh warga Ahmadiyah yang baru datang itu untuk
pergi/dievakuasi, tapi mereka menolak. Karena itu polisi pun meninggalkan
lokasi. Pertanyaannya, mengapa polisi membiarkan mereka bertahan di situ?
Mengapa polisi tidak berinisiatif untuk memaksa mereka pergi dan mengevakuasi
ke tempat aman? Bukankah mereka sudah tahu bahwa kondisi sudah demikian gawat?
Di sinilah terkesan polisi membiarkan bentrokan akan terjadi dengan menarik
anggotanya dari lokasi. Bahkan kawan kami di redaksi bercerita bahwa saudaranya
yang bekerja di pemda Pandeglang bertanya-tanya, mengapa bentrokan itu terjadi
padahal seharusnya bisa dicegah karena sudah diketahui sejak awal.
Tentang Massa
Ahmadiyah. Mengapa massa Ahmadiyah yang baru datang dengan dua mobil itu
menolak dievakuasi? Ada kesan bahwa mereka memang sengaja mempersiapkan diri
untuk menjadi martir karena kedatangan mereka jelas bakal memprovokasi massa
yang sudah terpancing emosinya sejak dua hari sebelumnya. Lalu apa tujuan
mereka? Apalagi massa Ahmadiyah itu sempat mengatakan bahwa mereka ingin
bertahan sampai titik darah penghabisan. Mengapa? Apakah mereka memang berharap
agar kasus ini meledak dan kemudian menjadi perhatian masyarakat di dalam dan
luar negeri? Ataukah mereka dikorbankan untuk scenario berdarah ini?
Penggerak
Massa: Dari gambar-gambar video yang muncul di Youtube maupun yang kami
dapatkan sendiri di lapangan, tampak jelas bahwa pada awalnya massa tampak
digerakkan oleh belasan orang berjaket hitam, sebagian berkaos t-shirt dan
kemeja dan bersenjata golok. Yang menarik, mereka ini membawa tanda pengenal
berupa pita biru di kerah, atau di dada atau di lengan atas.
Nah, tidak
seperti massa cair yang cenderung bergerak setelah berkumpul banyak orang,
belasan orang ini berjalan dengan langkah pasti, dengan jarak sekitar beberapa
ratus meter, menuju rumah warga Ahmadiyah itu (rumah Suparman). Begitu sampai
di depan pekarangan rumah Suparman mereka langsung menghajar warga Ahmadiyah
yang berjaga di pekarangan dengan serangan memakai golok, bambu, batu dan
lain-lain. Dari gerak-geriknya, mereka tampak sudah sangat terlatih memainkan
golok, mampu berkelit dengan tangkas dan berkelahi. Anehnya, ketika massa mulai
nimbrung, pentolan-pentolan penggerak massa ini sudah tidak tampak lagi... Lalu
ke mana mereka pergi?
Adanya
beberapa kamera video yang sudah standby dari awal. Bagi orang
televisi seperti kami, adanya gambar-gambar video yang menggambarkan peristiwa
penyerbuan itu sejak awal hingga akhir sangat menarik. Sebab, dari cara
mengambil gambarnya saja, sang cameraman terlihat cukup berpengalaman, dengan
kamera yang cukup baik, dan yang lebih penting lagi kamera yang ada di lokasi
itu tampaknya ada beberapa, minimal dua atau tiga buah, dengan posisi yang
sangat bagus dan bisa bercerita banyak tentang peristiwa itu.
Mari kita
lihat kamera pertama. Kamera pertama ini mengambil gambar long shoot ketika
belasan orang berjalan dengan bergegas, dipimpin seorang lelaki berjaket hitam
dan berkopiah hitam. Kamera ke dua mulai merekam ketika belasan orang itu
semakin mendekati lokasi, berteriak-teriak, mulai dari long shoot kemudian
medium shoot hingga si pemimpin masa sempat diambil gambarnya dalam jarak dekat
secara closeup meski hanya sekilas. Lalu kamera bergerak pan ke kanan dan
mengambil gambar ketika seorang polisi mencoba menahan massa tapi kemudian
membiarkan mereka. Mengapa polisi tidak terus menahan mereka, mengeluarkan
tembakan peringatan dan sebagainya? Apakah karena polisi itu melihat pita-pita
biru yang dipakai belasan orang itu? Ataukah mereka saling kenal?
Selanjutnya
ketika bentrokan awal mulai terjadi, tampak jelas betapa kamera yang mengambil
gambar itu berada di belakang penyerbu. Yang menarik cameraman yang mengambil suasana
bentrokan itu terkesan tidak takut dan seolah sudah saling mengenal dengan
penyerbu, sehingga mereka bisa mengambil gambar dengan tenang. Hal itu pula
yang terjadi ketika warga Ahmadiyah yang sudah ditelanjangi kemudian dipukuli
dan dianiaya dengan sadis. Kamera tetap mengambil gambar tanpa takut, tidak
dilarang untuk mengabadikan penganiayaan itu, dan bahkan mengambil gambar
orang-orang yang mengambil gambar kekejaman itu dengan handphonenya.
Soal
gambar-gambar video diupload di Youtube. Di Cikeusik kontributor kami
memang terlambat sampai ke lokasi. Baru sore dia sampai lokasi. Tapi
contributor kami ini datang bersama para wartawan dan kontributor dari media
lainnya. Maka yang pertama kali dikirim dari lokasi peristiwa adalah
gambar-gambar pasca kejadian. Mengirim gambar via streaming dari lokasi juga
tidak bisa dilakukan dengan cepat, maka baru pada malam hari gambar pasca
peristiwa terkirim dari warnet di kota kecamatan.
Nah, di saat
kontributor televisi kerepotan ke lokasi dan kemudian mengirim gambar yang
mereka dapat sendiri di kota kecamatan, ternyata gambar-gambar peristiwa
bentrokan terjadi yang begitu jelas dan gamblang itu sudah diupload ke youtube
pada Senin pagi 7 Februari 2011, dengan beberapa nama uploader. Ada yang dengan
nama andreasharsono, amatkuat dan sebagainya. Lalu mengapa gambar-gambar
itu bisa begitu cepat terkirim di Youtube, sementara kontri kami dapat
gambar-gambar itu besoknya. Dari mana mereka mendapat gambar-gambar itu?
Ada tiga seri
“video amatir” yang kami dapat dari lapangan. Pertama kami dapat dengan merekam
langsung gambar itu dari kamera handphone seorang… petugas Kodim… Gambar itu
identik dengan salah satu gambar video kekerasan di Cikeusik lewat Youtube yang
menggambarkan suasana saling lempar dan bacok antara warga Ahmadiyah melawan
penyerang.
Gambar kedua
adalah gambar terpanjang, sekitar 10 menit. Gambar ini kami dapat ketika
reporter kami sedang berada di sebuah warnet di kota kecamatan Cikeusik. Saat
itu ada seorang polisi di sana. Karena koordinator liputan daerah meminta
gambar video amatir yang lain –selain yang pertama--, maka reporter itu
langsung berinisiatif meminta kepada si polisi, “Punya video amatir soal
penyerbuan kemarin nggak, Pak?” Polisi itu menjawab, “Ada tuh di computer yang
kamu pakai, tadi barusan ditransfer…” (???) Yang menarik, gambar ini sama
dengan gambar video yang isinya pembakaran dan penganiayaan sadis warga
Ahmadiyah yang diupload di Youtube.
Video ketiga
didapat reporter kami dari seorang warga yang mengambil gambar dengan handphonenya
ketika suasana mulai agak reda sampai penganiayaan. Kualitas ketiga video ini
berbeda-beda. Yang pertama karena diambil dengan kamera handphone langsung
sangat berbeda dengan video gambar cenderung flat dan tidak begitu kelihatan
detailnya. Gambar ke dua lebih detail dan gambar pun stabil. Sedangkan gambar
ketiga karena dari kamera handphone sederhana kualitas gambar lebih buruk.
Namun gambar
yang detail kami dapat kemudian, sebagaimana gambar video yang diupload di
Youtube, tergambar secara detail suasana kedatangan para penggerak massa,
sampai masuk ke pekarangan dan bentrokan awal, kualitas gambarnya jauh lebih
bagus. Gambar video ini juga lebih bercerita, dengan berbagai sudut pengambilan
gambar yang bagus, cara mengambil gambar pun tampak lebih professional. Lalu
siapa yang mengambil gambar ini? Mengapa pengambilan gambarnya begitu
professional? Mengapa mereka kelihatan tidak berkonflik dengan penyerang? Lalu
apa motif mereka?
Hingga kini
kami masih belum menyimpulkan dalang kasus ini secara pasti. Tapi paling tidak,
kami jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang sedang
bermain-main dengan nyawa manusia?
Sumber : Catatan Hanibal
Wijayanta pada 9 Februari 2011 pukul 19:36