Dalam hal agama atau suatu keyakinan yang dianut oleh masyarakat
sunda, bahwa orang yang pertama kali memeluk dan menyebarkan Islam di Tatar
Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru
Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh. Ia
memilih hidupnya sebagai saudagar besar. Karena posisinya itu, ia terbiasa
berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia
menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad.
Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian
menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang
pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia dikenal dengan sebutan
Haji Purwa (pertama). Ia kemudian menetap di Cirebon Girang yang saat itu
berada di bawah kekuasaan Galuh. Bila cerita ini menjadi patokan, dapat
disimpulkan bahwa Islam pertama kali dibawa ke Tatar Sunda oleh pedagang dan
pada tahap awal belum banyak pendukungnya karena masih terlampau kuatnya
pengaruh Hindu.
Jika
dikhususkan di tanah sunda, maka orang yang sangat berperan penting dalam hal
penyebaran agama islam tidak akan terlepas dari peran beberapa orang pemuka
agama diantaranya adalah :
Pertama,
Haji Purwa, beliau adalah orang yang pertama kali masuk islam serta menikah
dengan wanita muslimah dari Gujarat yang bernama Farhana Binti Muhammad yang
dikemudian hari memiliki seorang anak dan menikah dengan wanita yang berasal
dari daerah India juga. Jalan dakwah yang telah dilakukan oleh Haji Purwa dengan
jalur dialog dan yang pertama kali dia ajak untuk masuk agamanya tersebut
adalah adik serta kakaknya sendiri, meskipun dakwahnya ini ditolak tapi
diantara mereka tidak ada perselisihan sama sekali. Yang pada tahap selanjutnya
beliau mulai menyebarkan ajaran agamanya kepada rakyatnya.
Kedua,
Syekh Quro, dia dikenal
sebagai orang yang pertama kali mendirikan sebuah pesantren di daerah Cirebon,
dan yang sering diajarkannya adalah Qira’at (Quro), sehingga ia dikenal oleh
masyarakatnya dengan syekh Quro. Salah seorang murid dari syekh Quro ini adalah
Subang Larang yang dikemudian hari menikah dengan Prabu Siliwangi.
Ketiga,
Syekh Nurul Jati, beliau mengajarkan ilmunya kepada walasungsang yang notabene
adalah seseorang yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam suatu
pemerintahan. Bahkan sebelum belajar kepada syekh Nurul Jati ini, walasungsang
sempat mendapatkan benda-benda pusaka yang ia peroleh dari beberapa gurunya
yang lain yang setelah ditafsirkan oleh syekh Nurul Jati ternyata memiliki
makna keagamaan yang sangat banyak.
Dalam hal keyakinan beragama seseorang, biasanya seorang raja
selalu memaksakan rakyatnya agar memeluk agama tertentu yang sesuai dengan
keyakinannya tersebut. Namun bagi pemimpin kerajaan Sunda yaitu Prabu Siliwangi
atau Sri Baduga Maharaja tidak memaksakan bagi rakyatnya untuk memeluk agama
tertentu, dalam hal ini termasuk agama Islam. Semua itu terjadi karena Prabu
Siliwangi telah menikah dengan seorang wanita muslim, sehingga dia membebaskan
rakyatnya untuk memeluk agama tertentu meskipun dia sendiri masih menganut
agama Hindu.
Proses islamisasi Prabu Siliwangi tidak akan terlepas dari
silsilah pernikahannya dengan Nyi Subang Larang, murid dari syekkh Quro. Pada
pernikahan inilah Prabu Siliwangi mulai mengislamkan dirinya, dan akhirnya
dikaruniai tiga orang anak yaitu Walasungsang, Laras Santang, dan Raja Sangara.
Yang dikemudian hari salah satu anaknya tersebut akan melahirkan seorang pemuka
agama yang akan menyebarkan islam di tanah jawa dan suatu hari nanti akan ada
yang selalu mengenangnya, dia adalah Sunan Gunung Djati atau juga dikenal
dengan nama Syarif Hidayatullah.
Selain itu pula, terdapat beberapa faktor yang membuatnya masuk pada agama islam yang dikemudian hari dapat memudahkan bagi penyebaran agama islam di tatar sunda, diantaranya adalah :
Pertama, Terdapatnya
pesantren Syekh Quro di daerah Cirebon, yang didalamnya terdapat seorang murid
yang suatu hari nanti menikah dengan Prabu Siliwangi, dia adalah Nyi Subang
larang. Selain pernikahannya dengan Nyi Subang larang, beliau pun menikahi dua
orang wanita lagi dia adalah Nyi Ambet Kasih, dan Nyi Aciputih.
Kedua, Terdapatnya
proses pelayaran yang dilakukan oleh panglima Cheng Ho ke berbagai daerah, salah
satunya di daerah Cirebon. Yang kemudian hari bersahabat dengan Ki Gedeng Tapa.
Di kota Cirebon inilah Panglima Cheng Ho mendirikan mercu suar yang biasa
digunakan oleh para pelayar untuk menentukan arah dan juga mendirikan
klenteng Sam Po Kong.
Ketiga, Nyi Subang
Larang yang mulai mengirimkan anaknya walasungsang untuk berguru kepada Syekh
Datuk Kahfi (Syekh Nurul Jati) yang selanjutnya atas perintahnyalah walasungsang pergi untuk
menunaikan haji.
Kisah Lainnya :
- Ada pula naskah tradisional lain yang menyebutkan cerita tentang Syekh Nurjati dari Persia. Ia adalah ulama yang datang pada sekitar abad ke-14 bersama 12 orang muridnya untuk menyebarkan Islam di daerah jawa Barat. Atas izin penguasa pelabuhan tempat ia mendarat, ia diperbolehkan menetap di Muarajati (dekat Cirebon) dan mendirikan pesantren di sana. Kisah ini terdapat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
- Ada lagi kisah tentang ulama yang datang dari Campa (sekitar Vietnam) bernama Syekh Quro. Ia singgah di Karawang bersama-sama dengan kapal Laksamana Cheng Ho.Sementara Cheng Ho melanjutkan misinya, Syekh Quro memilih tinggal di Karawang dan menikah dengan Ratna Sondari putra penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk mendirikan pesantren hingga ia dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih leluasa.
Sumber-sumber tradisional ini, sekalipun dalam perspektif
sejarawan Barat dianggap sebagai sumber yang tidak otoritatif, namun untuk
tidak dipercayai secara keseluruhan pun bukan perkara yang tepat. Oleh sebab
itu, sebagai informasi permulaan apa yang ditulis dalam sumber-sumber
tradisional di atas patut dipertimbangkan.
Bila sumber-sumber ini kita pegang, dapat disimpulkan bahwa Islam telah datang ke Tatar Sunda sejak abad ke-12 atau ke-13. Akan tetapi, sebagaimana umumnya pengembangan agama secara damai, tersebarnya Islam untuk sampai menjadi anutan mayoritas membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, bila pada abad ke-16, Kerajaan Sunda runtuh, bukan berarti bahwa Islam yang menghancurkannya.
Kehancuran Kerajaan Sunda adalah karena kekuatannya secara politik semakin merosot sehingga mudah untuk dihancurkan. Hanya saja, saat itu yang berhadap-hadapan dengan Kerajaan Sunda adalah Kerajaan Banten sehingga banyak yang secara simplisistik menyebutkan bahwa hancurnya simbol “kasundaan” adalah ketika Islam datang.
Wallohu 'alam
Cat. : Sumber diambil dari Mbah Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar